Mengapa Anti-Amerikanisme?

Oleh : Ahmad Sahal

Tapi jawaban Bush sama sekali meleset dalam menjelaskan penyebab anti-Amerika yang meluas di negeri Arab. Pernyataan Bush tersebut justru semakin menegaskan satu hal yang sering dikemukakan orang tentang Amerika, bahwa Amerika terlalu melihat ke dalam (inward looking), asik dengan diri mereka sendiri seakan-akan mereka berada dalam dunia yang terisolasi, media massanya sangat berwatak parokial ketimbang global, dan tidak (mau) tahu atau tidak peka terhadap dunia luar, terutama dunia Islam.
Setahun sesudah tragedi 11 september, sentimen anti Amerika Serikat (AS) di negeri-negeri Arab dan Muslim bukannya mengecil melainkan justru membesar. Setidaknya bila kita merujuk pada laporan The Jakarta Post beberapa hari lalu. Dalam laporan itu disebutkan, meskipun banyak kalangan dari masyarakat muslim menyatakan simpati terhadap korban tragedi WTC, kebencian terhadap AS juga meningkat. Banyak warga Mesir misalnya, mengekspresikan kemarahan terhadap AS karena kebijakannya menyangkut Israel dan Iraq. Di Syiria, koran resmi Tishrin mengklaim bahwa bangsa Arab sudah membayar “harga tertinggi” untuk 11 September, sementara Israel justru membonceng kampanye perang melawan terorisme dengan cara menyamakan perjuangan Palestina dengan terorisme. Bahkan Kuwait, yang di tahun 1991 menobatkan AS sebagai pembebas dari invasi Irak, kini mulai diwarnai dengan gejala menjadikan Osama bin Ladin sebagai hero.
Dari mana datangnya anti-Amerikanisme ini? Mengapa orang benci Amerika? Setahun yang lalu, beberapa saat setelah teror 9-11 terjadi, banyak warga AS melontarkan pertanyaan tersebut. Presiden George W. Bush, dalam pernyataannya di depan Kongres pada tanggal 20 september 2001 menjawab, “Americans are asking , why do they hate us? They hate our freedom—our freedom of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other” Jadi menurut Bush, dasar dari kebencian terhadap AS adalah kebencian terhadap kebebasan. Ada juga yang memberi jawaban, kaum teroris benci AS karena iri dengan kemakmuran dan keperkasaan Amerika.
Jawaban semacam ini untuk sebagian bisa menjelaskan kenapa patriotisme AS begitu menyala dan diekspresikan secara berlebihan setahun terakhir, mengiringi perang mereka terhadap jaringan terorisme internasional. Memang bagi AS, ide kebebasan (the idea of freedom) merupakan jantung identitas mereka, sehingga kalau itu diserang, apalagi dengan serangan dahsyat yang menewaskan lebih dari 3000 orang tak berdosa, maka semangat patriotismelah yang akan meradang.
Tapi jawaban Bush sama sekali meleset dalam menjelaskan penyebab anti-Amerika yang meluas di negeri Arab. Pernyataan Bush tersebut justru semakin menegaskan satu hal yang sering dikemukakan orang tentang Amerika, bahwa Amerika terlalu melihat ke dalam (inward looking), asik dengan diri mereka sendiri seakan-akan mereka berada dalam dunia yang terisolasi, media massanya sangat berwatak parokial ketimbang global, dan tidak (mau) tahu atau tidak peka terhadap dunia luar, terutama dunia Islam. Ketika mereka diserang dari luar, mitos isolasi mereka memang buyar, akan tetapi bacaan mereka terhadap situasi yang terjadi jauh dari memadai. Contohnya ya jawaban George W. Bush itu.
Anti-Amerikanisme di dunia muslim bukanlah terutama dipicu oleh kebencian terhadap kebebasan Amerika, juga bukan karena iri melihat kemakmuran Amerika, melainkan karena kekecewaan yang mendalam terhadap kebijakan AS di Timur Tengah yang melulu berdasar kepentingan nasional jangka pendeknya sendiri. 
AS datang ke Timur Tengah dengan antusiasme yang tinggi terhadap minyak mentah dan gas alam di kawasan itu yang diperkirakan merupakan 2/3 dari cadangan dunia, akan tetapi dengan perhatian yang minim terhadap berlangsungnya demokratisasi di situ. AS dengan ringan mendukung rezim-rezim sekular yang otoritarian, korup dan represif asal bisa melanggengkan stabilitas dan menyantuni kepentingan mereka. Rezim Islam yang tidak demokratis dan menindas hak asasi tapi menyantuni kepentingan Amerika, seperti Arab Saudi, juga dianggap sebagai mitra, sementara rezim yang melawan dianggap sebagia musuh. Dengan kata lain, yang jadi pertimbangan di sini adalah kepentingan AS itu sendiri, bukan seberapa jauh demokratisasi dan hak asasi terjamin.
Hal lain yang membikin nama AS jatuh di mata masyarakat muslim adalah dalam hal sikapnya yang sangat lembek dan pasif terhadap persoalan Palestina. Terorisme negara (state terrorism) yang dipraktekkan Israel terhadap Palestina sudah begitu gamblangnya tetapi AS seakan-akan memaklumi saja penjelasan Israel bahwa itu adalah usaha mereka membela diri. Sementara itu, AS justru mengamini pandangan Israel yang mengkategorikan perlawanan Palestina sebagai terorisme. 
Soal Palestina inilah saya kira salah satu bahan bakar utama yang menyulut sentimen anti Amerika. Sentimen ini menjadi menebal terutama setelah kekalahan Arab dalam Perang Enam Hari melawan Israel tahun 1967. Bukan saja karena kekalahan ini menjatuhkan martabat bangsa Arab ke titik nadir, melainkan juga karena dalam perang itu AS jelas-jelas menyokong Israel.
Sesungguhnya, sentimen anti-Amerika ini sulit dibayangkan muncul pada tahun 50-an atau awal 60-an. Karena pada masa itu, AS justru menjadi model kemajuan bagi bangsa Arab.Wartawan terkemuka Mesir Mohammad Heikal menggambarkan mood masa itu dengan baik sekali: “Gambar keseluruhan dari Amerika Serikat…adalah dunia yang glamour…Imperium Inggris dan perancis sudah pudar dan dibenci. Uni Soviet begitu jauh jaraknya, dan ideologi komunisme adalah anathema bagi muslim. Tapi Amerika, setelah Perang Dunia II, tampil sebagai lebih kaya, lebih kuat dan lebih menarik ketimbang sebelumnya.” Akan tetapi, setelah Perang Enam Hari, bangsa Arab merasa dikecewakan dan dikhianati Amerika. 
Evaluasi terhadap kebijakan AS di Timur Tengah, terutama soal Palestina itulah saya kira yang mestinya dibenahi oleh AS manakala mereka hendak memerangi terorisme. AS harus berani berinstrospeksi, meminjam judul buku terbaru Bernard Lewis “what went wrong?” dalam hal sikap mereka terhadap masyarakat muslim, sebagaimana Bernard Lewis juga mengusulkan kaum muslim mawas diri juga dan bertanya “what went wrong?” kok sampai dari perut mereka bisa lahir terorisme 9-11.
Kaum muslim tidak perlu menyangkal bahwa memang ada yang salah dan patologis dalam tubuh umat, yakni gejala pengekspresian Islam dengan cara-cara teror dan bahasa kekerasan seperti dilakukan oleh jaringan al-Qaidah, kelompok Abu Sayyaf dan sejenisnya. Kelompok teroris inilah yang telah membajak Islam untuk tujuan mereka sendiri dengan memberikan impresi pada dunia bahwa merekalah satu-satunya pembawa wajah Islam. Untuk menyembuhkan penyakit semacam ini, sikap apologetik dan menyalah-nyalahkan pihak lain (misalnya dengan merangkai fantasi tentang adanya konspirasi Barat melawan Islam) justru tidak akan menolong dan kontraproduktif. Sikap yang tepat adalah mengakui adanya patologi tersebut dan bertekad menyembuhkannya dengan menampilkan citra Islam yang ramah, pluralis dan inklusif.
Tapi langkah koreksi diri dari kaum muslim ini harus juga diikuti dengan koreksi diri dari Amerika mengenai sikapnya dalam soal Timur Tengah. Amerika mestinya ikut menyokong rezim-rezim yang demokratis dan pluralistik dan memperkokoh civil society di Timur Tengah. Itu yang pertama. Yang kedua, Amerika haruslah lebih banyak mendengarkan usulan masyarakat Arab dalam soal Israel dan bersikap empatik terhadap penderitaan Palestina.
Dua hal ini adalah tindakan preventif yang ampuh dalam jangka panjang untuk mereduksi terorisme. Karena dengan adanya demokrasi dan kebebasan berekspresi yang kuat, gerakan Islamisme yang marak sekarang ini akan mengalami moderasi karena dialektika mereka dengan demokrasi menjauhkannya dari jalan teror. Sebab, kalau mereka bisa meraih dukungan dengan demokratis, dan itu artinya mereka harus bertemu dengan ragam orang banyak, bahasa teror justru akan membikin mereka teralienasi.
Alienasi semacam itulah yang sekarang terjadi pada jaringan al-Qaidah. Pada titik ini, analisa Gilles Kepel menarik untuk ditengok. Dalam buku terbarunya, Jihad: The Trail of Political Islam, sosiolog Perancis ini membalik anggapan umum bahwa terorisme terhadap AS tahun lalu sebagai fenomena pasang naik dari fundamentalisme Islam. Menurut Kepel, serangan tersebut justru tanda kebangkrutan gerakan Islam radikal, “simbol keputusasaan akibat isolasi, fragmentasi, dan merosotnya gerakan Islam, bukan tanda kekuatan dan kehebatannya.”
Ironisnya, AS tampaknya tidak bertanya “what went wrong?” untuk sekadar melakukan koreksi diri. Buktinya, pendekatannya dalam melawan terorisme masih unilateral dan bertahan pada prinsip “siapa yang tidak bersama kami berarti musuh kami”. AS juga ngotot menggolongkan Irak dan Iran sebagai axis of evil dan bahkan kini merencanakan serangan terhadap Irak, padahal tak satupun pelaku teror WTC berasal dari kedua negara itu. Saddam Husein memang tiran yang represif. Akan tetapi menyerang Irak sekarang ini hanya akan memperkukuh posisi dirinya. Dan siapapun tahu, Iran, melalui Presiden Khatami yang moderat, sedang merambah jalur transisi demokrasi. Sejarah tidak sedang berada di pihak Mullah di Iran sekarang ini. Tapi apa lacur, AS membutakan diri dari hal itu.
Sementara itu AS masih menjalin hubungan mesra dengan Saudi Arabia meskipun fakta menunjukkan, dari 19 pelaku teror WTC, 15 orang diidentifikasi sebagai berkewarganegaraan Saudi. AS tidak mau hubungannya dengan Saudi rusak karena dari situlah kepentingannya terpenuhi.
Ketakutan terhadap terorisme yang eksesif juga membuat AS menomorsatukan isu keamanan di atas segalanya, meskipun dengan resiko mengorbankan civil liberties dan isu hak asasi. Atas nama memerangi terorisme, ribuan orang yang dicurigai bisa ditangkap begitu saja, diinterogasi secara rahasia, tanpa bantuan hukum. Atas nama melawan terorisme, ratusan tawanan perang Taliban yang dibawa ke Guantanamo tidak mendapatkan perlindungan hak asasi yang memadai. Dan atas nama keamanan, AS rela menyokong militer di Dunia Ketiga, termasuk militer Indonesia, yang masih punya masalah dengan HAM, asal bisa menangkap siapapun yang dituduh teroris.
Kampanye melawan terorisme ini pada akhirnya banyak dimanfaatkan oleh penguasa otoriter untuk menindas lawan politik atau oposisi, atas nama perang melawan terorisme. Demikianlah maka pemerintah Cina, misalnya, merasa punya nyali untuk memprosekusi perlawanan kaum muslim Uighur di provinsi Xinjiang. Pemerintah Singapura merasa punya hak untuk menggunakan ISA untuk menangkap siapapun yang dianggap teroris. Dan atas nama ketakutan terhadap Islamisme, maka Mahathir di Malaysia, juga presiden Nursultan Nazarbaev dari Kazakhstan dan Askar Akaev dari Kirgizstan bisa menindas kaum oposisi. Dan last but not least, atas nama anti terorisme, Ariel Sharon pun merasa layak memberangus Palestina. 
Kalau pilihan semacam ini diterus-teruskan oleh Amerika, bukannya mata rantai terorisme yang dipotong habis, melainkan benih-benihnya yang akan tumbuh subur. Jangan heran kalau anti-Amerikanisme bukannya hilang malah diminati.

Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah

Oleh : Sulfikar Amir

Tulisan ini memfokuskan diri pada isu sains dan Islam yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat Islam di Indonesia. Isu ini menjadi hangat karena adanya keinginan, harapan, dan semangat akan bangkitnya peradaban Islam yang dimotivasi oleh romantisisme sejarah kejayaan peradaban Islam dalam bidang sains beberapa abad yang lampau. Studi mengenai sains dalam Islam sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh beberapa sarjana, baik muslim maupun Barat. Secara garis besar, studi ini mencakup dua aspek, yakni historis dan epistemologis.
Tulisan ini memfokuskan diri pada isu sains dan Islam yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat Islam di Indonesia. Isu ini menjadi hangat karena adanya keinginan, harapan, dan semangat akan bangkitnya peradaban Islam yang dimotivasi oleh romantisisme sejarah kejayaan peradaban Islam dalam bidang sains beberapa abad yang lampau. Studi mengenai sains dalam Islam sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh beberapa sarjana, baik muslim maupun Barat. Secara garis besar, studi ini mencakup dua aspek, yakni historis dan epistemologis. Dalam tulisan ini saya akan mendiskusikan kedua aspek ini dan melajutkannya ke dalam konteks Indonesia.
Revolusi Ilmiah
Diskusi sains dan Islam ada baiknya dimulai dari satu peristiwa monumental yang menandai lahirnya sains modern, yakni Revolusi Ilmiah pada abad ke 17 di Eropa Barat yang menjadi “cikal bakal” munculnya sains moderns sebagai sistem pengetahuan “universal.” Dalam historiografi sains, salah satu pertanyaan besar yang selalu menjadi daya tarik adalah: Mengapa Revolusi Ilmiah tersebut tidak terjadi di peradaban Islam yang mengalami masa kejayaan berabad-abad sebelum bangsa Eropa membangun sistem pengetahuan mereka? Bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan) yang memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu dipahami. Pertama adalah sejarah sosial sains di Eropa ketika terjadi Revolusi Ilmiah. Yang kedua adalah karakteristik internal sistem pengetahuan peradaban Islam yang tidak memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah. Walaupun membandingkan kedua hal ini sedikit ambigius, komparasi singkat ini cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana sains modern dan Islam kontemporer bertemu.
Ada beberapa tesis yang kita bisa ambil untuk memahami peristiwa Revolusi Ilmiah di Eropa. Pertama, Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi atau tercabutnya kekuasaan agama dalam sistem sosial politik yang memungkinakn sains lepas dari kungkungan institusi agama. Telah banyak diketahui bahwa pada abad 16 dan 17 ketika era Renaissannce, agama sebagai institusi yang sangat dominan dan hegemonik di Eropa kala itu mengalami perubahan radikal dalam posisinya sebagai pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran. Tetapi lepasnya sains dari otoritas agama tidak menjadikannya independen. Dalam catatan Leonardo Olschki, terjadinya Revolusi Ilmiah tidak lepas dari proses transformasi pengetahuan ilmiah ke dalam bentuk utilitas teknis. Menurut Hessen keberhasilan sains moderen di abad 16 dan 17 didorong oleh runtuhnya sistem ekonomi feodal yang digantikan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Secara spesifik, Hessen merujuk perkembangan ilmu fisika pada saat itu sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan-kebutuhan teknis dalam industri dan peperangan. Dari catatan-catatan sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita bisa memahami bahwa perkembangan sains moderen di Eropa tidak lepas dari berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, seperti yang dikatakan oleh oleh Sandra Harding, sains moderen telah menjadi kendaraan bagi praktek hegemoni dan pemenuhan ambisi-ambisi nasionalisme bangsa Eropa ketika melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.
Sekarang mari kita menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian peradaban Islam mampu mengambil, mengolah, dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak tidak pernah ada sebelumnya. Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan peradaban Islam dalam sains. Pertama adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini. Kedua dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi.  Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah.
Lalu mengapa sains dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankan kontinyuitasnya, gagal mencapai titik Revolusi Ilmiah, dan justru mengalami penurunan? Salah satu tesis yang menarik datang dari Aydin Sadili. Seperti dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab kegagalan peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili, tradisi intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa, tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.
Selanjutnya, Sadili melihat bahwa salah satu permasalah krusial gagalnya sains Islam dalam mencapai tahap Revolusi Ilmiah adalah terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan. Karena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.
Sains Moderen dan Islam
Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia?  Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya.  Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami. 
Islam dan Sains di Indonesia
Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia selalu dikaitkan dengan harapan akan bangkitnya Islam di negara ini. Fakta kuantitatif ini sayangnya belum cukup bagi kita untuk bersikap optimis. Kendala besar bagi cita-cita tersebut ada pada dua sisi. Sisi pertama adalah masih lemahnya tradisi ilmiah di Indonesia. Walaupun Indonesia memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat, khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil masih jauh dari harapan.  Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah indikasinya. Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif. Ini menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.
Pada sisi kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban Islam ketika masa keemasan. Islam muncul di Indonesia justru ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat asalnya sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam sistem sosial dan kebudayaan. Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan atau inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan baik jika berada dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan dan keberagaman pemikiran.  Hal ini menjadi isu penting mengingat masih kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.
Sebagai penutup, apa yang diuraikan di atas adalah suatu bentuk kepedulian terhadap Islam dan sains di Indonesia yang patut mendapat perhatian publik secara terus menerus untuk membangkitan semangat dan tradisi kritik sains sekaligus kritik bagi masyarakat Islam di Indonesia. Dan karenanya studi relasi antar sains dan Islam seharusnya menjadi agenda penting, baik dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam wacana sains di level teoritis maupun praksis.
Referensi
Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem, Principles, and the Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary Committee of Pakistan.
Cohen, H. Floris (1994). The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry, Chicago: The University of Chicago Press.
Harding, Sandar (1998) Is Science Multicultural?: Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies, Bloomington: Indiana University Press.
Lenoir, Timothy (1997) Instituting Science: the Cultural Production of Scientific Disciplines Stanford: Stanford University Press.
Madjid, Nurcholish (1992) Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina

Evolusi Pemahaman Keagamaan

Oleh : Ahmad Fuad Fanani

Dewasa ini, tafsir-tafsir keberagamaan yang muncul di masyarakat lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu tafsir dari lembaga keagamaan. Selain itu, tafsir keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan).
Dewasa ini, tafsir-tafsir keberagamaan yang muncul di masyarakat lebih banyak berasal dari satu arah, yaitu tafsir dari lembaga keagamaan. Selain itu, tafsir keagamaan yang ada juga terlalu berorientasi pada pemahaman keagamaan yang bersifat vertikal dan legal-formal. Artinya pemahaman keagamaan yang dipupuk adalah yang berhubungan dengan ibadah ritual, doktriner, dogmatis, dan berhubungan dengan kesadaran langit (ketuhanan).
Sementara itu, tafsir-tafsir lain yang dilakukan secara radikal dan kreatif kadangkala sering ditolak kemunculannya dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Padahal, sebuah kebenaran tafsir keagamaan tidak serta merta muncul dari satu sisi, namun harus digali dari berbagai segi dan perspektif.
Sebuah tafsir tunggal agama sesungguhnya jauh dari sehat karena akan mengakibatkan terjadinya penyelewengan pada pesan agama yang awalnya bertujuan mulia. Karena, sikap dasar bawaan manusia tidak jauh dari kenaifan, keserakahan, dan nafsu menundukkan lainnya. Hal itu terbukti ketika khalifah Al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah menerapkan mihnah (inkuisisi) yang berisi kewajiban penduduk untuk berpaham teologi Mu’tazilah. Peristiwa lain nampak pada penguasa Taliban tempo hari yang memaksakan penerapan syariat Islam secara radikal pada penduduk Afghanistan. Begitu juga lembaga gereja-gereja Katholik sebelum Konsili Vatikan Kedua yang membekukan pemahaman keagamaan sebagai sesuatu yang eksklusif dengan menyatakan “tidak ada keselamatan di luar gereja”. (Perlu dicatat bahwa setelah Konsili vatikan Kedua, gereja Katholik menjadi sangat inklusif karena mereka mengakui bahwa di luar gereja, yakni dalam epercayaan dan agama selain Katholik, juga terdapat keselamatan).
Evolusi Pengetahuan Agama
Doktrin yang banyak tertanam dalam benak pikiran dan perilaku umat beragama adalah bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, pasti, dan tuntas. Mereka menganggap, bahwa agama adalah wilayah yang harus disucikan dari kreatifitas dan kritik manusia. Sebab, agama adalah wilayah milik Tuhan yang terjamin kebenarannya. Orang yang berani mengkritik agama justru dianggap orang yang gila, aneh, jauh dari kebenaran.
Namun, bila kita kembali ke sejarah turunnya agama-agama di dunia, sesungguhnya agama tidak bisa lepas dari unsur kreatifitas manusia. Bila wilayah agama dianggap sebagai wilayah Tuhan semata, lantas kenapa muncul agama-agama baru yang bertugas sebagai pelengkap dan penyempurna agama terdahulu? Seperti agama Islam yang berita turun dan kebenarannya terdapat dalam kitab Injil, dan agama Nasranipun ada dalam kitab Taurat milik agama Yahudi. Artinya, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa Tuhan sangat paham atas kondisi perubahan zaman, alam, serta tingkat pengetahuan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan menurunkan agama-agama yang --meminjam istilah Frithjof Schuon- di dalamnya terdapat titik temu bersama yang mestinya harus digali dan dimunculkan.
Evolusi agama yang berwujud pada keberagamaan manusia itu, menurut Robert N. Bellah berjalan sesuai dengan tingkat perkembangan kebebasan dan situasi masyarakat yang mengelilinginya. (Beyond Belief, 2001) Fokus utama evolusi keagamaan adalah sistem simbol keagamaan itu sendiri. Maksudnya, arah utama perkembangannya adalah simbolisasi dari yang sederhana menuju simbolisasi yang terdiferensiasi. Evolusi dari agama primitif menuju ke agama historis dan kemudian berkembang menjadi agama modern adalah contoh bagaimana agama berubah dari pengaruh situasi kekuasaan okultis yang bermetaformosis dengan keyakinan yang bersifat rasional.
Berkaitan dengan evolusi keagamaan di atas, Abdul Karim Soroush, seorang pemikir Islam liberal dari Iran yang sering dijuluki sebagai “Luther Islam”, mengajukan teori penyusutan dan pengembangan keagamaan. Dalam cara kerja teori ini, sebuah kebenaran teks keagamaan tidaklah bersifat final. Artinya, meskipun agama adalah sebuah doktrin dari Tuhan yang dijamin kebenarannya, akan tetapi pemahaman agama masih bersifat relatif dan terbuka dari berbagai interpretasi baru. (Reason, Freedom, and Democracy in Islam, 2000) Nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari dua hal, yaitu kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis pada dasarnya yang mengetahui hanyalah pencipta agama itu sendiri (baca – Tuhan). Tidak ada satu pihak pun yang berhak merasa paling tahu tentang kebenaran teologis ini. Sedangkan kebenaran historis sebuah agama dapat dilacak dari sejauh mana agama tersebut dapat bermanfaat dan membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan. Jadi, antara kebenaran agama dan pemahaman agama haruslah diberikan garis demarkasi yang jelas dan ketat.
Soroush juga menegaskan, bahwa dalam pemahaman keagamaan, mutlak diperlukan adanya evolusi yang bersifat dinamis, kritis, dan progresif. Oleh karena itu, ilmu agama haruslah diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan bersifat relatif (tidak ada kebenaran tunggal). Pengetahuan agama dan kebutuhan zaman yang baru haruslah dicarikan jawabannya terus menerus dengan ijtihad para agamawan seperti halnya ilmu kemanusiaan lain semisal biologi, fisika, kimia, astronomi, dan sebagainya.
Orang yang menghindari pemikiran evolusi keagamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama sesungguhnya secara tidak langsung justru membekukan agama sehingga agama menjadi kehilangan elan vitalnya dan cenderung menjadi kekuatan yang tidak membebaskan bagi pra pemeluknya. Ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna dan berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan sistem budaya yang juga senantiasa berubah. Maka, pemahaman keagamaan yang terus berkembang adalah salah satu bentuk usaha reformasi dan kebangkitan keberagamaan.
Membaca dan Memaknai Agama
Sesuai dengan watak evolusi agama yang harus diejawantahkan, maka tradisi kritik dan pemunculan tafsir yang heterogen menjadi suatu kemestian yang wajar dan tak terelakkan. Tradisi ini bertujuan agar peran-peran profetik agama sebagai kekuatan moral dan pembebasan lewat perilaku pemeluknya dapat muncul lagi ke permukaan. Keragaman tafsir juga mempunyai nilai positip sebagai upaya kontekstualisasi teks agama pada problem-problem kemanusiaan masa kini.
Dalam pemunculan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jacques Derrida layak dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja. Metode yang pada awalnya dipakai dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk bertanya, menggugat, atau mengkritik.
Dalam bidang keagamaan, dekonstruksi terhadap teks ini memungkinkan kita untuk membongkar monopoli tafsir atas otoritas tertentu yang menegaskan mengenai “kebenaran” atas nama Tuhan, negara atau penguasa. Sehingga definisi dan praktek pencarian “kebenaran” menjadi demokratis dan berparadigma antroposentrik. Dalam hal ini, manusia menjadi pusat tafsir yang berusaha untuk menggali kebenaran yang beragam secara obyektif.
Evolusi keagamaan yang menghargai pluralitas itu dengan sendirinya menekankan adanya --meminjam istilah Mohamed Arkoun—historisitas logos dalam pembacaan teks. Maksudnya, dalam pembacaan teks agama mutlak diperhatikan rentang waktu kemunculan, kompleksitas, serta latar belakang ideologi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, Arkoun mengkritik adanya sebuah pensakralan pengetahuan agama (taqdis al-afkar ad-diniyyah) yang sering terjadi pada umat beragama. (Al-Islam: Al-Akhlaq wa al-Siyasah, 1990) Sebab, sebuah pensakralan menjadikan manusia terbelenggu pada kebenaran tunggal dan penerimaan tanpa reserve sebuah penafsiran teks keagamaan. Padahal, kemunculan teks pada masa lalu pasti tidak terlepas dari dimensi politis dan ideologis sang pengarang.
Berkaitan dengan itu, Arkoun menawarkan kita agar jernih dan jeli membedakan pemikiran keagamaan yang ada pada era klasik, skolastik, dan modern. Untuk itu, model pembacaan teks dengan metode hermeneutika yang berusaha menghadirkan teks masa lalu agar bisa terpakai pada zaman sekarang layak dilakukan. Dalam metode ini, latar belakang kemunculan teks, maksud pengarang, struktur bahasa, nilai atau simbol pengetahuan, dan kontekstualisasi adalah sebuah lingkaran yang senantiasa berkelindan. Sehingga, sebuah teks keagamaan tidak serta merta dipakai secara simbolik tanpa mengkaji makna substantif dan moral yang ada di baliknya.
Dengan bahasa dan istilah berbeda, Mohammad Abed Al-Jabiri juga menegaskan, bahwa krititisme dalam pembacaan dan pemaknaan kembali teks keagamaan mutlak dilakukan. Sedangkan metodologi yang ditawarkan adalah metode strukturalis; analisis sejarah, dan kritik ideologi. Metode strukturalis digunakan sebagai pembacaan teks secara literal dan membatasinya dalam melokalisir kebenaran yang bersifat sementara. Sedangkan analisis sejarah adalah mencari pertautan pemikiran sang pengarang teks dengan ruang lingkup sejarah budaya, sosial, politik, serta sosiologisnya. Kritik idelogi mengungkap maksud pengarang dalam penciptaan karya melalui episteme yang dirujuknya. (Post Tradisionalisme Islam, 2000).
Dengan model pembacaan dan pemaknaan agama yang tidak terjebak pada simbol dan homogenitas seperti diatas, maka umat beragama dapat diharapkan menjalankan keberagamaan baru yang humanis dan membebaskan. Penegasan Soroush bahwa “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog antar-intra iman, serta giat bekerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan menggalakkan demokratisasi. Wallahu A’lam

Empat Agenda Islam yang Membebaskan

Oleh : Luthfi Assyaukanie

Islam dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi tampaknya tak lagi bisa dipertahankan bagi kehidupan kita sekarang ini yang semakin menuntut keterbukaan, toleransi, dan persamaan hak. Begitu juga, wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak lagi memiliki tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi dan pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan.
Islam dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi tampaknya tak lagi bisa dipertahankan bagi kehidupan kita sekarang ini yang semakin menuntut keterbukaan, toleransi, dan persamaan hak. Begitu juga, wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak lagi memiliki tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi dan pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan.
Islam yang diperlukan untuk kehidupan kita sekarang dan di masa-masa mendatang adalah Islam yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan umatnya, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun negara. Persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim dewasa ini, sudah barang tentu, berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim sepuluh tahun, seratus tahun, atau apalagi seribu empat ratus tahun yang lalu.
Kita diharuskan untuk selalu memiliki perspektif baru dalam melihat berbagai persoalan yang kita hadapi. Sebagaimana kaum muslim masa silam melihat segala persoalan dari perspektif mereka, kita juga dituntut untuk melihat persoalan yang kita hadapi dengan perspektif kita sendiri. Penyelesaian persoalan-persoalan masa kini dengan solusi-solusi masa silam hanya akan membuat kita teralienasi dari dunia di mana kita hidup. Inilah sumber dari banyak kontradiksi yang akhir-akhir ini sering kita lihat.
Sejak era kebangkitan Islam yang dimulai lebih dari seabad silam, berbagai persoalan menyangkut kehidupan kaum muslim telah didiskusikan. Saya melihat, paling tidak, ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi (bandingkan dengan Charles Kurzman, 1998). Kaum muslim dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektif mereka sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik.
Agenda pertama adalah agenda politik. Yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Secara teologis, persoalan ini boleh dibilang sudah selesai, khususnya setelah para intelektual muslim, semacam Ali Abd al-Raziq, Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Majid (Indonesia), menganggap persoalan tersebut sebagai persoalan ijtihadi yang diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim.
Pilihan terhadap bentuk negara –apakah republik, kerajaan, semi-kerajaan, parlementer, atau apapun namanya—adalah pilihan manusiawi, dan bukan pilihan ilahi. Umat Islam lebih mengetahui urusan dunia mereka, persis seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad: “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Dan karena urusan politik adalah urusan dunia, maka menjadi hak kaum muslim untuk mengaturnya sendiri. Tak ada satu ayatpun di dalam Alquran yang mewajibkan mereka menentukan satu bentuk atau sistem politik tertentu. Allah hanya mengisyaratkan perlunya memiliki tatanan yang jujur dan adil. Dan dalam hal politik, bisa apa saja, termasuk sistem demokrasi yang kini dianggap sebagai alternatif terbaik dari sistem politik yang pernah ada.
Agenda kedua adalah agenda yang menyangkut kehidupan antar-agama kaum muslim. Dengan semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negara-negara muslim, pencarian teologi pluralisme tampaknya menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar. Pengalaman awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi, kerap dijadikan model percontohan adanya toleransi kehidupan antar-agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif, dan toleran.
Namun, asas teologi Islam yang lebih penting menyangkut kehidupan antar-agama tak terbatas hanya pada pengalaman Madinah. Alquran, sebagai kitab suci yang menjadi rujukan teologis kaum muslim, memiliki banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam untuk, bukan saja menghormati keberadaan agama-agama lain, tapi mengajak mereka mencari kesamaan-kesamaan (kalimatun sawa) (Q.S. 3: 64).
Dalam beberapa ayat Alquran, Allah menjamin para penganut agama-agama lain (seperti Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala sesuai dengan perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah (Q.S. 2: 62 dan Q.S. 5: 69). Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa semua agama, selama mengakui ketertundukannya kepada Allah (yang merupakan makna dari kata “Islam”), pada dasarnya adalah sama. Jangan heran kalau Nabi Muhammad pernah menyatakan bahwa agama yang paling dicintai Allah adalah “alhanafiyah al-samhah” (semangat kebenaran yang toleran).
Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita. Agenda ini mengajak kaum muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut –dari manapun sumbernya—bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua jenis kelamin (lihat misalnya Q.S. 33:35, Q.S. 49: 13, Q.S. 4: 1).
Sudah saatnya kaum muslim bersikap kritis dalam melihat dan membaca warisan keagamaan mereka, karena bagaimanapun, sebagian dari pesan-pesan yang terkandung dalam warisan-warisan keagamaan itu dibentuk dalam kondisi sosial-budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang.
Agenda keempat tentang kebebasan berpendapat. Agenda ini menjadi penting dalam kehidupan kaum muslim modern, khususnya ketika persoalan ini berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi manusia (HAM). Islam sudah pasti sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dan dengan demikian, juga menghormati kebebasan berpendapat. Sejak dibukanya kembali “pintu ijtihad” lebih dari satu abad silam, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk takut memiliki pendapat pribadi. Pendapat (ijtihad) adalah sesuatu yang sangat dihargai dan dihormati dalam Islam. Begitu dihormatinya sebuah pendapat, sebuah kaedah fikih menegaskan bahwa seseorang akan diberikan dua pahala jika benar dalam berijtihad, dan diberikan satu pahala jika salah.
Atas dasar itu, Islam menghargai pendapat atau karya seseorang. Tak ada hak bagi siapapun untuk melarang seseorang memiliki kebebasan berpendapatnya. Namun demikian, Islam mengakui adanya batasan-batasan dalam berekspresi. Ekspresi adalah persoalan cara –dan bukan kepemilikan—yang berimplikasi pada masalah hukum yang menjadi urusan negara. Seseorang yang melanggar cara-cara berekspresi, akan berhadapan dengan undang-undang yang telah diatur oleh negara.
Dengan demikian, kasus-kasus kebebasan berekspresi yang selama ini menimpa kaum muslim, menjadi wewenang negara untuk menyelesaikannya, dan bukan wewenang para ulama atau tokoh agama apapun. Para ulama tidak memiliki hak untuk menilai dan apalagi menghukum seseorang berkaitan dengan kebebasan berpendapatnya.

Soekarno, Pelopor Islam Liberal

Oleh : Saidiman
Sayang, ungkap Soekarno, keberpihakan Kristen dan Islam kepada perempuan tidak lagi tampak dalam realitas kehidupan umat Kristen dan Islam. Ada jarak antara yang ideal dan faktual dalam pelbagai kehidupan dan pemikiran umat Islam. Dengan latar pemikran semacam itulah acapkali Soekarno menyebut Islam saat ini sebagai “Islam Sontoloyo” atau “Masyarakat Onta.”
Ada banyak kalangan yang memandang bahwa rumusan Dasar Negara yang disusun oleh Soekarno bukan hanya renungan mengenai Indonesia, melainkan juga refleksi atas perkembangan politik masyarakat dunia. Pancasila memuat klaim terhadap ide-ide besar pemikiran politik terbaru saat itu. Dia tidak hanya merespon gerakan kemerdekaan negara-negara jajahan kolonial, melainkan juga mengamati secara lebih dekat keruntuhan rezim kekaisaran Turki Utsmani, yang selama bertahun-tahun diaku sebagai simbol kedaulatan politik Islam.
Dengan demikian, pilihan politik Soekarno mendirikan Indonesia dengan dasar kebhinekaan bukan sekadar buah dari pemikiran “Barat,” melainkan juga respon mutakhir terhadap kegagalan politik rezim Islamis di dunia Islam. Kesadaran semacam itu tertuang dalam pelbagai tulisan Soekarno semisal Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Memudahkan Pengertian Islam, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan seterusnya.
Diskusi Jaringan Islam Liberal, 28 Mei 2009, mengulas ajaran Soekarno mengenai Islam liberal. Panitia menghadirkan Prof. M. Dawam Rahardjo dan Dr. Yudi Latif sebagai pembicara. Diskusi yang dipandu oleh Novriantoni Kahar, MA itu berlangsung selama dua jam dan dihadiri oleh sekitar 100 peserta.
M. Dawam Rahardjo yang tampil sebagai pembicara pertama mengulas sejarah pemikiran Soekarno, khususnya mengenai persentuhan Soekarno dengan Islam. Sebetulnya, Soekarno dilahirkan tidak dalam tradisi santri, melainkan abangan. Ibunya bahkan berasal dari Bali dan beragama Hindu. Persentuhan Soekarno dengan Islam langsung pada level high Islam yang rasional filosofis, tidak dengan low Islam, yakni pendidikan Islam tradisional. Soekarno bersentuhan dengan Islam langsung pada tradisi pemikiran, bukan pada tradisi ritual.
Yudi Latif menambahkan bahwa latar belakang keluarga ini membuat Soekarno berdiri tidak di satu tradisi. Ayahnya, Sukemi, adalah seorang petani Jawa. Sementara ibunya, I Gusti Nyoman Ray, adalah seorang Hindu Bali. Latar belakang keluarga ini sangat berpengaruh dalam pembentukan watak pemikiran Soekarno yang eklektif.
***
Pembuangannya ke Endeh (1934) menjadi momentum Soekarno belajar Islam secara serius. Ia membaca buku-buku mengenai pemikiran Islam yang dikirim oleh kolega-koleganya, seperti A. Hassan. Cokroaminoto membawa Soekarno berkenalan dengan pemikiran Islam dari Muslim Ahmadiyah. Persentuhan Soekarno dengan Islam menjadi semakin mengarah ke ranah pemikiran setelah Soekarno membaca karya-karya Muslim Ahmadiyah tersebut. Ia membaca tulisan-tulisan Mohammad Ali, pendiri Ahmadiyah Lahore. Muhammad Ali menulis antara lain, The Holy Quran (terjemahan Alqur’an dalam bahasa Inggris), The Religion of Islam, Sejarah Muhammad, dan lain-lain. Sementara melalui Syaid Amer Ali, Soekarno membaca The Spirit of Islam yang kelak menjadi dasar bagi pemikirannya mengenai Api Islam.
Dalam ajaran Ahmadiyah dikenal doktrin mengenai kebutuhan membangun khilafah ruhaniyyah (spritualitas), bukan khilafah duniawiyyah (politik). Istilah “Api Islam” sangat kental terpengaruh dari doktrin ini. Soekarno menyaksikan betapa masyarakat Muslim dunia begitu beragam. Semuanya butuh kesatuan ummah dalam pengertian ruhani. Dari sini Soekarno menegaskan dukungannya kepada model Islam Turki modern.
Ketika banyak pihak mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Soekarno memberi respon dengan mengajukan keberhasilan Mustafa Kemal Attaturk membangun Turki modern. Ia bersetuju dengan buku karangan Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, yang menyatakan bahwa risalah Nabi Muhammad tidak mengandung petunjuk eksplisit mengenai pilihan ideologi politik yang harus dianut oleh umat Islam. Ia menyatakan bahwa pilihan Attaturk memisahkan agama dari negara bukan hanya tidak melanggar syariat Islam, melainkan juga adalah respon cerdas terhadap kemunduran dunia Islam saat itu. Di banyak tulisan lain, Soekarno mengurai sederet kemunduran itu.
Pandangan bahwa Soekarno lebih mengapresiasi corak keberislaman di Turki dibantah secara serius oleh Yudi Latif. Menurut Yudi, Soekarno justru lebih mengapresiasi Islam Mesir ketimbang Turki. Turki, menurut Yudi, telah begitu ceroboh melakukan privatisasi agama, yakni membuang agama ke langit ketujuh. Sementara yang diinginkan Soekarno bukanlah pemisahan agama dari negara melainkan bagaimana memperbaharuinya.
Kesimpulan Yudi Latif cukup terkonfirmasi dalam pelbagai bentuk keprihatinan Soekarno pada kemunduran Islam. Pelbagai kemunduran itu, oleh Soekarno, dinilai sebagai fakta sosial, bukan kondisi yang diidealkan oleh ajaran Islam sendiri. Ketika membahas mengenai ketidaksetaraan gender dalam kehidupan umat Islam, Soekarno menilai hal itu melenceng dari cita-cita ajaran Islam. Baik Islam maupun Kristen, menurut Soekarno dalam buku Sarinah, datang dengan semangat mengoreksi budaya patriarki. Hal ini bisa dibuktikan dalam fakta bahwa kaum perempuanlah yang mula-mula menyambut baik ajaran Islam dan Kristen.
Kondisi ketertindasan perempuan dalam budaya patriarki membuat mereka berbondong-bondong memeluk Islam dan Kristen. Itulah sebabnya, dalam sejarah penyebaran Kristen, banyak sekali tokoh perempuan yang harus mati di tiang gantungan, dibakar, atau disalib karena menganut dan menyebarkan ajaran ini. Demikian pula dengan Islam. Islam berkembang pesat di Nusantara, misalnya, karena para perempuan penganut Hindu lebih memilih Islam yang egaliter. Mereka menghindar dari kewajiban dibakar hidup-hidup mengikuti suami yang meninggal dunia dengan menganut ajaran Islam. Justru karena dianut oleh para perempuan, maka kedua agama ini berkembang dengan sangat pesat.
Sayang, ungkap Soekarno, keberpihakan Kristen dan Islam kepada perempuan tidak lagi tampak dalam realitas kehidupan umat Kristen dan Islam. Ada jarak antara yang ideal dan faktual dalam pelbagai kehidupan dan pemikiran umat Islam. Dengan latar pemikran semacam itulah acapkali Soekarno menyebut Islam saat ini sebagai “Islam Sontoloyo” atau “Masyarakat Onta.”
***
Perkenalan Soekarno dengan tradisi pemikiran Islam, menurut Dawam, ditunjang oleh khazanah ilmu sosial yang telah pula ia serap dari Barat. Pandangan sosiologisnya dipengaruhi oleh materialisme historis Karl Marx, yang menjadi sangat kentara dalam buku Sarinah. Sementara pandangan agamanya dipengaruhi oleh Auguste Comte.
Kombinasi pelbagai tradisi keilmuan ini membawa Soekarno pada dua pendirian mengenai Islam: liberal dan progresif. Pada ranah liberalisme, Soekarno menekankan tentang pentingnya wacana pembebasan dalam Islam. Ia menulis Memudakan Pengertian Islam di Panji Islam (1949). Tulisan ini merefleksikan penguasaan Soekarno mengenai Islam dalam hal gejala sosialnya. Soekarno mempelajari aneka corak keislaman di pelbagai wilayah: Mesir, Palestina, India, Turki, Arab Saudi, dan lain-lain. Dari situ kemudian Soekarno mengambil kesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai Islam bukanlah entitas tunggal, melainkan beragam. Gejala pluralisme, menurut Soekarno, ada dalam Islam, baik untuk kalangan eksternal, maupun internal.
Soekarno juga memandang bahwa Islam adalah ide progresif (idea of progress). Di sini, Soekarno menyimpulkan bahwa Islam yang tampak mundur dan tertatih-tatih untuk bangkit itu bukanlah sejatinya Islam. Kemunduran Islam, bagi Soerkarno, terutama disebabkan keengganan sarjana-sarjana Muslim menggunakan perspektif pengetahuan modern (modern science) dalam pemikiran Islam. Ia mengusulkan kepada pesantren-pesantren untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dalam tradisi Barat, di samping tradisi keilmuan Islam.

Mengapa Agama Tak Butuh Dilindungi

Oleh : Guntur Romli

ABRAHAH heran bukan kepalang. Abdul Muthallib, pembesar Mekah yang menemuinya, hanya peduli pada nasib unta yang dirampas penguasa dari negeri Habsyah (Ethiopia) itu, bukan nasib Ka’bah yang hendak dihancurkan. Kata Abrahah, “Mengapa kamu hanya peduli pada dua ratus ekor untamu, tapi tak peduli pada Bait (Ka’bah) yang merupakan agamamu dan agama moyangmu, yang hendak kuhancurkan?” Abdul Muthallib menjawab, “Aku peduli pada nasib unta, karena aku pemiliknya, sedangkan Bait itu punya Pemilik yang akan menjaganya.” Inilah sekelumit dialog yang dikisahkan oleh Ibn Hisyam dalam Al-Sîrah al-Nabawiyah, satu di antara biografi tentang Nabi Muhammad yang cukup otoritatif.

Kalau zaman sekarang, Abdul Muthallib mungkin akan dituduh egois, pasif, dan “materialistik”, hanya peduli pada hartanya, tapi tidak peduli pada agamanya. Namun, di balik sikap itu tersimpan iman Abdul Muthallib yang kuat: bahwa Allah yang menjaga Ka’bah tidak tidur dan akan bertindak. Benar. Setelah itu, datanglah segerombolan burung Ababil yang membawa batu dari neraka dan melempari pasukan gajah Abrahah hingga hancur lebur. Tahun itu dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun kelahiran Nabi Muhammad.
l l l
SAAT ini kita sedang menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap sebuah undang-undang yang niatnya melindungi agama dari penodaan, yakni Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Namun niat tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. UU ini dalam kehidupan sosial malah ikut menyulut konflik. Contohnya dari rekomendasi penting Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) dalam “Laporan Kebebasan Beragama 2009 di Jawa Barat”, yang mendesak pencabutan UU itu. Secara normatif UU tersebut dianggap “tidak selaras dengan semangat konstitusi yang dengan tegas menjamin hak kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan”. Melalui UU ini juga ditetapkan pasal 156-a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur ancaman sanksi pidana bagi yang dituduh sebagai “penoda agama”.
Melalui temuan INCReS, sepanjang 2009 di Jawa Barat terjadi 10 kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dilakukan oleh aparatus negara, dan 35 kasus intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan yang dilakukan oleh organisasi massa garis keras yang memakai “jubah Islam”. Dalam aksi-aksi kekerasan ditemukan, UU itu dipakai sebagai dalih pembenar untuk menyesatkan, menyapu, hingga menangkap individu dan kelompok yang dituding menodai agama.
Pertanyaannya: mengapa UU ini dianggap mendesak dan darurat untuk dicabut? Benarkah agama tidak butuh aturan yang melindunginya? Dari temuan yang sangat umum kita mencermati tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan malah berlindung di balik UU ini. Karena itu, dugaan yang mengatakan pencabutan UU ini akan menyebabkan konflik horizontal dalam masyarakat merupakan kekeliruan yang berlawanan dengan fakta sosial. Yang terjadi malah sebaliknya, selama ini konflik horizontal yang beraroma agama menggunakan UU ini-khususnya pasal 156-a-sebagai dalih melakukan penyesatan, kekerasan, penangkapan, dan penghakiman sepihak. Logika sederhananya: kalau tidak ingin konflik horizontal terus terjadi dalam masyarakat, UU Nomor 1/PNPS/1965 dan pasal 156-a itu harus dihapus (mansûkh).
Bagaimana UU tersebut bekerja sebagai pemicu, dalih, dan akhirnya vonis yang mengkriminalkan keyakinan? Pertama, dimulai dengan munculnya dugaan pada kelompok yang memiliki ajaran yang dianggap bertentangan dengan “keyakinan umum”. Kelompok ini baik yang ada sejak dulu atau benar-benar baru. Contohnya, Syiah dan Ahmadiyah, yang masuk kelompok lama, sedangkan Lia Eden masuk kategori baru. Nah, dengan memakai UU dan pasal 156-a itu, kelompok tersebut dibidik dari sudut penodaan, bukan melalui sudut perbedaan. Keberadaan kelompok “tersangka” ini tidak lagi dipahami sebagai pihak yang keyakinannya dijamin, tapi bisa diancam sanksi pidana. Inilah tahap pertama bagaimana UU tersebut menyuguhkan cara pandang yang keliru dalam melihat perbedaan ajaran yang sebenarnya lumrah terjadi.
Tahap kedua: sebuah kelompok yang telah diidentifikasi sebagai “kelompok kriminal” dari perspektif keyakinan akan dimusuhi dan diupayakan untuk dilenyapkan. Tahap kedua ini adalah sebuah reaksi tindakan yang ditempuh melalui dua cara: pertama, ormas-ormas garis keras akan menindak langsung kelompok itu. Tindakan ini ilegal dan kriminal, tapi mereka selalu memakai dalih UU yang mengkriminalkan kelompok tersebut. Tak jarang ditambah fatwa untuk memperkuat dugaan kriminal. Kelompok “tersangka” pun dihajar dengan aturan negara dan fatwa agama.
Cara kedua: ormas garis keras tidak melakukan tindakan langsung, tapi menekan aparat pemerintah untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, aparat negara biasanya mengambil sikap yang paling “aman” dan “nyaman”, karena ormas garis keras biasanya mengancam akan melakukan tindakan langsung kalau aparat tidak turun. Maka, dalam dugaan aparat, lebih baik menciduk kelompok yang kecil dan lemah daripada melawan ormas yang biasanya datang bergerombol dan tak ragu melakukan kekerasan. Di sini aparat negara bukan pelindung bagi warga negara dan kelompok minoritas, melainkan aparatus ormas garis keras yang mengatasnamakan mayoritas. Maka jangan heran kalau aparat negara menempati posisi tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama, seperti yang dilaporkan INCReS.
Tahap ketiga: perbedaan agama dan keyakinan itu diseret ke pengadilan, dan ujung-ujungnya vonis pidana bagi terdakwa. Kerap kali saksi ahli yang dihadirkan ke pengadilan adalah mereka yang juga memulai, melaporkan, atau terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang itu.
Saya masih terheran-heran dengan tuntutan bahwa agama harus dilindungi oleh sebuah peraturan dari negara. Bagi saya, tuntutan ini bersumber dari iman yang krisis dan penuh dengan ketakutan: agamanya takut ternoda, rusak, atau bahkan punah. Tuntutan ini berlawanan dengan klaim absolut mereka tentang agama mereka, yang katanya sempurna, abadi, dan tak lekang oleh zaman. Mereka mengakui agama mereka sempurna, tapi tanpa sadar mengakui pula agama mereka bisa dinodai dan dikurangi.
Saya adalah bagian dari umat yang menegaskan bahwa agama, kepercayaan, dan keimanan yang kami miliki tidak akan bisa dinodai oleh siapa pun dan kapan pun. Apalagi agama yang dimaksudkan adalah agama yang telah berusia tak hanya ratusan tapi ribuan tahun, agama yang telah matang, dewasa, dan kenyal menghadapi tantangan.
Saya juga tak menafikan kelompok atau individu seperti cerita Abrahah, yang ingin “memusnahkan” agama. Kadang mereka memiliki alasan yang bisa dimengerti: menurut mereka, sikap permusuhan pada agama muncul karena agama sering disalahgunakan untuk menebarkan kebencian dan kekerasan. Kalau boleh, saya ingin mengambil tamsil agama dengan lautan. Apakah seseorang atau kelompok yang ingin mengencingi lautan berhasil menodai kemurnian lautan?
Untuk menyikapi kelompok atau individu yang berbuat jahat dengan membawa agama, yang bisa ditindak adalah perbuatan mereka, bukan keyakinan mereka. Seseorang yang menyembah batu, atau meyakini barang pusaka atau jimat bertuah, tidak bisa dikriminalkan karena keyakinan itu. Tapi mereka bisa ditangkap kalau memakai batu sembahan, pusaka, dan jimat mereka untuk mencelakakan orang lain.
Bagi saya, episode yang pernah “menodai” lautan dengan “limbah”-nya yang terbesar adalah modernisme. Periode ini dimulai dengan sikap ingkar terhadap apa yang berasal dari (doktrin) agama, yang akhirnya bisa membuktikan bahwa kemajuan bisa lahir tanpa campur tangan formal agama. Pertanyaannya: apakah agama lantas mati? Justru agama berkembang sangat pesat. Agama sebagai spirit tetap berfungsi seperti ulasan Max Weber, yang menyatakan pengaruh etika Protestan dalam kapitalisme, tapi bukan doktrin formal Protestan. Di Amerika kita sering memperoleh laporan tentang kebangkitan Kristen. Dan akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sering dipahami sebagai kebangkitan semua agama di dunia, dari agama-agama besar hingga ajaran spiritual.
Agama juga bukan seperti satwa liar yang hutannya telah punah sehingga harus dilindungi. Bukan pula seperti candi, kuil, dan bangunan kuno lainnya yang kehilangan daya sihirnya sehingga tidak dipedulikan, maka perlu dirawat secara khusus dalam “cagar alam” dan “cagar budaya” yang dijamin oleh peraturan. Padahal agama terus hadir dalam kehidupan ini, lembaga-lembaga keagamaan: pendidikan, pesantren, syiar, penerbitan, ormas, film, musik, dan lain-lain semakin tumbuh dan tidak menunjukkan perlunya sebuah “cagar agama”. Yang perlu diwaspadai sebenarnya bukan agama yang bisa dinodai atau akan punah, tapi “overdosis” agama yang sering dibawa pada penyebaran kebencian, kekerasan, dan terorisme.
Dari penelusuran sejarah ini bisa disimpulkan, agama tak bisa dinodai dan dibunuh. Rahasia ketahanan agama ini bukan karena ia dijaga oleh undang-undang yang memberikan sanksi pidana kepada kelompok yang dianggap menodainya, melainkan karena diberikan kebebasan kepada umat untuk mengembangkan agamanya dalam pemikiran, perayaan, dan kebudayaan sehingga agama terus langgeng. Agama tak akan punah selama ia mampu bersanding dengan kemaslahatan manusia.
Karena itu, bagi saya, peraturan yang beriktikad-meskipun baik-ingin melindungi agama merupakan kesia-siaan. Bahkan peraturan ini telah dijadikan dalih pelanggaran. Peraturan itu dijadikan pembenaran bagi seorang saudara untuk menikam saudaranya yang lain hanya gara-gara perbedaan agama. Seharusnya peraturan itu lebih ditujukan pada perlindungan manusia yang menganut agama, bukan pada agama yang menurut keyakinan pemeluknya telah dijamin keabadiannya. Seperti Abdul Muthallib, kakek Nabi Muhammad, yang menyerahkan urusan agama (Ka’bah sebagai Bait Allah) kepada Pemiliknya.

Potret Buram Kebebasan Beragama

Oleh : Saidiman Ahmad


Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran.
Bagaimana merumuskan kehidupan keagamaan di Indonesia memang telah menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Ketidakselesaian pembahasan itu tentu bukan khas Indonesia. Hampir seluruh negara di muka bumi ini mengalami persoalan yang sama: belum selesai merumuskan kehidupan beragama.

Beberapa Kemajuan
Namun di tengah proses yang terus berjalan itu, harus diakui bahwa Indonesia mengalami sejumlah kemajuan penting. Amandemen Undang-undang Dasar 1945 secara tegas memasukkan unsur kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada pasal 28 E ayat 1, 2 dan 3, pasal 28 I ayat 1 dan 2, dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan tentang kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya masing-masing.
Pada tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005. Kovenan ini jelas menunjukkan dukungan terhadap gagasan mengenai kebebasan beragama. Pasal 18 kovenan ini menjelaskan konsep mengenai kebebasan beragama.
Pada 25 November 1981, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)—di mana Indonesia adalah salah satu anggotanya—mengeluarkan resolusi Sidang Umum PBB No.36/55/1981 tentang Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief. Deklarasi ini memberi dukungan kebebasan beragama secara luas baik dalam bentuk keyakinan maupun ekspresi keyakinan berupa ibadah, pendirian rumah ibadah, pendirian komunitas, dakwah, dan penyebaran gagasan melalui pelbagai media.
Perangkat hukum lain yang menjamin kebebasan beragama adalah UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU ini menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pada pasal 22 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Diskriminasi Konstitusional

Meski mengalami kemajuan, tetapi kemajuan itu sangat terasa tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang secara konsisten memberi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya tentang hak atas kebebasan beragama. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, misalnya, baru diratifikasi pada tahun 2005, padahal kovenan ini telah ada sejak 1966.
Hal lain yang cukup merisaukan adalah masih adanya sejumlah perangkat UU yang diskriminatif. UU diskriminatif yang paling banyak disorot, dalam hubungannya dengan kebebasan beragama, adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini pada mulanya adalah Penetapan Presiden Tahun 1965 yang kemudian statusnya diangkat menjadi UU pada tahun 1969. Pasal 1 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Implikasi UU No. 1/PNPS/1965 ini adalah tercantumnya delik hukum pada pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pemidanaan lima tahun penjara bagi siapapun yang di muka hukum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Gugatan Judicial Review yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dan LSM terhadap UU No. 1/PNPS/1965 mengalami beberapa benturan konstitusional yang cukup serius. Di samping pencantuman gagasan kebebasan beragama, Konstitusi ternyata juga secara eksplisit mengandung unsur yang melegitimasi pembatasan kebebasan beragama. Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di atas segalanya, dasar negara, Pancasila, sebenarnya sejak mula telah mencantumkan sila diskriminatif dan pembatasan kebebasan beragama. Sila pertama Pancasila secara tegas menyatakan: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila diskriminatif ini kemudian dipertegas oleh pasal 29 ayat 1 UUD 1945: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pada 2005 juga tidak tanpa masalah. Pasal 18 ayat 3 Kovenan tersebut menyatakan: “Kebebasan untuk mengejewantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Dengan demikian, kovenan ini membuka kemungkinan bagi pembatasan kebebasan beragama setidaknya pada lima alasan: (1) keamanan (public safety), (2) ketertiban (public order), (3) kesehatan (public health), (4) moral (public moral) dan (5) hak-hak atas kebebasan orang lain.

Fakta Kekerasan
Sepintas lalu tampak bahwa semua instrumen perundang-undangan di atas tidak memiliki persoalan pada hak sipil mengenai kebebasan beragama. Ketertiban sosial, misalnya, bahkan sangat diperlukan untuk penegakan hukum. Hanya pada kondisi di mana hukum dihormatilah kebebasan beragama bisa tercapai. Dan hanya pada kondisi normal dan stabillah penegakan hukum bisa diwujudkan.
Laporan indeks kebebasan beragama yang dilakukan sejumlah lembaga beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa persoalan kebebasan beragama justru bermula dari pendefinisian mengenai ketertiban, keamanan, dan moral sosial, juga beberapa kali dengan alasan untuk melindungi hak-hak kebebasan orang lain. Sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kelompok minoritas dan agama-agama baru justru terjadi di atas argumen bahwa keyakinan kelompok-kelompok tersebut telah meresahkan warga dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. UU No. 1/PNPS/1965 secara nyata digunakan dalam sejumlah bentuk kriminalisasi atas kebebasan beragama. Kasus-kasus seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Salat Bersiul dan semacamnya dijatuhi hukuman pidana berdasarkan UU ini. Dan yang lebih mengerikan adalah bahwa UU ini telah digunakan oleh sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan kekerasan tanpa memperoleh tanggapan serius dari negara (tidak diproses secara hukum).
Dengan demikian, pencegahan keonaran atau anarkhi yang menjadi semangat UU ini sama sekali tidak tercipta dalam penerapannya. Yang terjadi justru UU ini menjadi alat legitimasi bagi terciptanya rasa tidak aman untuk menjalan agama dan keyakinan pribadi.
Akibat lebih jauh terhadap adanya sejumlah instrumen UU yang diskriminatif adalah keterlibatan negara secara konsisten dalam kegiatan diskriminasi dan pelanggaran hak kebebasan beragama. Sejumlah data indeks kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh sejumlah lembaga menyatakan bahwa negara sangat aktif dalam melakukan atau terlibat dalam kegiatan pelanggaran hak atas kebebasan beragama. Setara Institute merilis temuan bahwa dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama tahun 2009, 139 di antaranya dilakukan oleh negara. Wahid Institute melaporkan ada 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan/atau keyakinan yang dilakukan oleh negara sepanjang tahun 2009. Moderat Moslem Society mengidentifikasi 22 dari 59 kasus intoleransi sepanjang 2009 dilakukan oleh pemerintah. Sementara Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS) mengidentifikasi sejumlah kasus di mana negara juga terlibat aktif seperti persoalan seputar rumah ibadah dan Ahmadiyah.
Temuan-temuan ini semakin mempertegas bahwa negara tidak hanya absen di dalam perlindungan hak-hak kebebasan beragama, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Aktivitas negara melanggar kebebasan beragama tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission). Yang mengejutkan adalah bahwa tindakan aktif di mana aparatus negara berinisiatif melakukan pelanggaran sangat dominan. Dari 139 pelanggaran negara yang dilaporkan oleh Setara, 101 di antaranya dilakukan dalam bentuk keterlibatan aktif (by commission).
Kondisi semacam ini sangat merisaukan. Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran. Pantauan yang dilakukan oleh Setara Institut dalam tiga tahun terakhir menunjukkan grafik yang bergerak naik. Meski lebih banyak pelanggaran yang terjadi pada tahun 2008 di banding tahun 2009, namun jika ditarik garis dari tahun 2007 sampai 2009, maka akan ditemukan trend pelanggaran yang menaik.
Melihat fakta-fakta hukum yang ada, tampaknya kelompok-kelompok minoritas masih tetap harus dirundung malang dalam jangka waktu yang lama. Salah satu sumber petaka diskriminasi, UU No. 1/PNPS/1965, memang sedang dibahas oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi belum lagi MK memberi keputusan, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sedang disusun dan diusulkan untuk ditetapkan. RUU ini secara terperinci mengurai pembatasan kebebasan beragama.
Tentu kita mengharapkan terpenuhinya hak-hak kebebasan warga secara penuh, namun tampaknya kita mesti lebih banyak bersabar.